Minya Kita, Bukan Milik Kita ?

Oleh: Siti Rusfriani Verina, S.Pd (Komunitas Literasi Islam Bungo)

Deteksijambi.com ~ Minyak goreng yang menjadi kebutuhan pokok, saat ini naik harga. Harga eceran tertinggi (HET) yang dulunya Rp14.000 menjadi Rp15.700 per liter. 

Kenaikan harga minyak goreng ini sudah resmi berlaku, dan aturan resminya akan dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang mana sudah diumumkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. 

Kenaikan harga minyak ini, tentunya memiliki alasan yaitu: untuk menyesuaikan harga minyak eceran dengan biaya produksi yang terus mengalami kenaikan,pergerakan nilai mata uang rupiah yang fluktuatif.

Mengapa harga minyak goreng ini naik? Padahal Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar yang jelas sebagai bahan baku minyak goreng? Mengapa semua ini dapat terjadi?

Pertama, Pemerintah bercorak Kapitalistik yang menetapkan hukum sesuka hati. Memisahkan agama dalam kehidupan dan memisahkan agama dalam negara. Kedua, Pemerintah kapitalis selalu hitung untung rugi kepada masyarakat. Ketiga, tidak adanya peran negara dalam tata kelola sawit baik dalam produksi maupun distribusinya. 

Sistem ekonomi demokrasi Kapitalisme melibatkan peran asing dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Jika pengelolaannya tidak melibatkan luar negeri, tentu tidak akan terjadi kenaikan harga minyak goreng tersebut. Dengan kekuasaan dan kemampuannya, negara mendistribusikan minyak goreng dengan biaya yang minimalis dan tidak boleh membebani masyarakat. Inilah watak asli dari kapitalistik yaitu ingin mendapatkan keuntungan yang besar tanpa menanggung rugi.

Dalam Islam, Negara wajib memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dengan mudah dan murah. Negara menetapkan kebijakan dalam aspek produksi, distribusi maupun dalam konsumsinya.

Setiap individu boleh memiliki lahan dengan syarat status lahan tersebut bukan terkategori milik umum. Sistem kapitalisme hari ini telah melegalkan pengalihan lahan hutan menjadi perkebunan ,sawit secara membabi buta.

Islam melarang upaya apa pun yang berpotensi merusak alam, serta mengalihfungsikan lahan milik umum menjadi kebun milik swasta atau individu yang merusak keseimbangan lingkungan. 

Negara boleh memberikan status tanah mati (tanah yang tidak dikelola atau dibiarkan pemiliknya selama tiga tahun) kepada orang yang mampu menghidupkan atau mengelolanya. Hal ini memberikan kesempatan bagi pencari nafkah untuk menanami atau mengelolanya menjadi kebun sawit atau pertanian lainnya.

Negara menyediakan sarana pertanian yang memudahkan petani memenuhi kebutuhan pertanian mereka, termasuk petani sawit. Penguasaan lahan sawit oleh swasta saat ini banyak merugikan petani sawit. Jika negara berperan aktif dalam pengelolaan sawit, negara akan memastikan harga TBS (Tandan Buah Sawit) stabil dan petani tidak akan dipermainkan oleh korporasi.

Pada aspek distribusi dan konsumsi, negara akan menetapkan kebijakan sebagai berikut:

Pertama, negara tidak akan melakukan ekspor sawit sebelum kebutuhan minyak sawit dalam negeri tercukupi.

Kedua, negara bertanggung jawab memastikan distribusi minyak goreng hingga menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat.

Ketiga, memastikan setiap pasar terpenuhi stok bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat. Negara dapat menunjuk hakim pasar (qadi hisbah) untuk mengawasi jalannya perekonomian di pasar dan menegakkan hukum bagi pelanggar muamalah, seperti pedagang curang, mafia atau kartel pangan, dan lainnya.

Sungguh luar biasanya Islam mengatur perekonomian negara, Karena aturan-Nya yang Rahmatan Lil Alamiin yaitu Rahmat bagi seluruh alam.

Beginilah Sistem ekonomi dalam Islam, memiliki aturan yang sudah terstruktur.

Hanya dengan mengembalikan kehidupan Islam, maka itu dapat terwujud.Wallahu a’lam bishawwab.**