Kebijakan Zalim Berkedok Pajak

Oleh: Siti Mutaharoh, S.Sos.I

Deteksijambi.com ~ Masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang teramat kasihan. Mengapa demikian? Sebab hidup di bumi yang katanya jambrud katulistiwa, sebuah negara subur makmur loh jinawi dengan berbagai sumber daya alam melimpah, namun kenyataannya hidup dalam kemiskinan, kesulitan, kesempitan dan jauh dari kata sejahtera. 

Alih-alih negara turut membantu meringankan beban hidup masyarakat, yang ada justru ditambah beban rakyat dengan dimintai pajak. 

Kenyataan terjadi hari ini. Bentuk ke zaliman itu semakin nyata di depan mata. Saat rakyat kembang kempis memikirkan besoknya akan makan apa saking sulit dan mahalnya barang sembako, disaat yang bersamaan pemerintah justru seenaknya menaikkan pajak pada setiap barang kebutuhan masyarakat. 

Pajak kebijakan zalim.

Dalam sistem kapitalisme, penarikan pajak dengan segala konsekuensinya adalah sebuah keniscayaan. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama negara yang selainnya adalah hutang. Pajak diterapkan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali sebagai wajib pajak. Rakyat disuguhi slogan yang seolah-olah jika tidak manut pada apa yang diinginkan pemerintah itu artinya bukan orang bijak. “orang bijak taat pajak” begitu kata yang selalu ada pada setiap himbauan terkait bayar pajak.

Seperti baru-baru ini pemerintah menaikkan PPN menjadi 12% yang diberlakukan per Januari 2025. Meski gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat terus berlangsung, pemerintah tak bergeming. Puraa-pura bisu dan tuli tak mendengar keluhan ralyatnya. Padahal, sudah pasti kenaikan itu akan menyengsarakan rakyat.

Pada perkara yang lain kita dibuat geram dengan banyaknya kebijakan terhadap perusahaan besar, termasuk perusahaan asing, pemerintah justru memberikan insentif fiskal secara jor-joran. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri. Menurutnya, tambahan pendapatan yang didapat dari kenaikan PPN tidak lebih dari 100 triliun. Padahal menurutnya, pemerintah bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar dari pajak ekspor batu bara yang diperkirakan bisa mencapai 200 triliun.

Namun, lagi-lagi pemerintah tidak mau melakukannya.

Kebijakan pajak semacam ini jelas zalim, sangat menyengsarakan rakyat, terutama rakyat kecil. Penguasa yang seharusnya mensejahterakan rakyat, malah membuat aturan yang membebani rakyat. Padahal negeri kita adalah negeri yang subur. Sumber daya alam yang melimpah ruah bahkan termasuk penghasil emas terbesar. 

Namun, mengapa rakyatnya hidup sengsara? Semua terjadi akibat diterapkannya sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem ini telah menggerogoti sendi-sendi kehidupan seluruh rakyat. SDA yang seharusnya dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Namun, sistem ini telah mengizinkan kepemilikan SDA dikuasai oleh individu, bahkan dijual ke pihak asing. Dan kenyataannya penguasa lebih berpihak kepada korporat daripada rakyatnya sendiri.

Kebijakan Pajak Dalam Islam

 Etika pajak dalam perspektif Islam berfokus pada kewajiban pajak sebagai bagian dari kebijakan fiscal yang berbasis pada nilai Islam. Pajak dianggap sebagai kewajiban yang dapat secara temporer diwajibakan oleh ulil amri sebagai kewajiban tambahan setelah zakat, karena kekosongan /kekurangan baitul mall. 

Begitualh prinsip utamanya dalam Islam. Jadi pajak bukan di berlakukan setiap waktu setiap tempat dan setiap ada kesempatan. Melainkan akan melihat kebutuhan negara terhadap hal itu. Dari sini tampak akan sangat tidak mungkin dalam Islam segala halnya dikenakan wajib pajak, melainkan akan dilihat dulu urgensitasnya terhadap pentingnya pungutan pajak berdasarkan kebutuhan negara. 

Islam mengharamkan pemungutan pajak untuk sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atau tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadis meskipun hanya 1%. Namun, Islam membolehkan adanya pungutan dari Negara kepada rakyat dengan dua syarat:

 pertama yaitu ketika ada kewajiban atas kaum muslimin yang harus ditunaikan. Biaya atas kewajiban itu menjadi pengeluaran tetap baitulmal. Misalnya seperti untuk pembiayaan jihad fi sabilillah, pembangunan industri senjata, nafkah fakir miskin, membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim dan tenaga pendidik. Selain itu untuk pembiayaan kondisi darurat misalnya seperti gempa, banjir, tsunami, invasi musuh.

Kedua, ketika kondisi kas baitul mall kosong. Ketika tidak ada harta yang mencukupi untuk menunaikan kewajiban negara, maka negara akan memungut pajak.

Jadi pajak dalam Islam merupakan alternatif terakhir yang dipungut oleh negara. Bukan kebijakan zalim seperti yang diterapkan kapitalis. Itu pun hanya dibebankan kepada rakyat yang kaya saja. Makna kaya di sini adalah sudah melebihi dari apa-apa yang menjadi kadar kecukupannya secara makruf. **

Wallahu a’alam bishawab